Penulis : Kristianto Triwibowo
Penulis merupakan aktivis kepemudaan dan aktif menyuarakan toleransi. Pernah menjabat sebagai Kordinator Wilayah VI (Kalteng, Kalsel, Kaltim, Kaltara) Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) 2022-2024 dan saat ini Wakil Sekretaris Umum Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Muda Kota Tarakan.
Intoleransi tampak berdiri gagah di atas tanah air yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya ke-80 tahun. Bagai penjajah yang tak mau pulang, meski delapan puluh tahun Indonesia merdeka, intoleransi masih kian merampas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jeritan tangis anak negeri seolah tak henti akibat intoleransi yang kerap dibaluti persekusi dan intimidasi. Masalah serius ini membuat pikiran saya menamainya ‘Intoleransi Merdeka’.
Sah-sah saja dalam benak kita, sejenak mempertanyakan sudahkah kita merdeka dalam hak kebebasan beragama dan beribadah?, mestinya kebebasan yang dijamin oleh konstitusi negara itu sudah final dan hadir bagi seluruh rakyat yang memeluk agama serta keyakinannya. Sebagai warga negara, kita wajib menghormati, mengakui dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Karena di dalamnya terdapat tumpah darah perjuangan yang senasib sepenanggungan kebangsaan untuk merdeka. Namun belakangan ini, dengan ratusan insiden intoleransi yang terjadi, apakah intoleransi kini menjadi penjajah baru yang sudah merdeka?.
Potret negri yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika ini, dicoreng dengan tindakan penolakan pendirian rumah ibadah, pelarangan aktivitas peribadatan, bullying, ujaran kebencian hingga kekerasan fisik dan menghantui kaum minoritas keagamaan. Rasanya negara ingin mengibarkan bendera putih di atas perbuatan pihak-pihak yang intoleran. Mengingat, hampir setiap waktu kejadian intoleran kerap terjadi dan upaya pemerintah berserta penegak hukum terbilang lamban dan tidak berhasil menumpas akar masalahnya. Bahkan kejadian yang bersifat persekusi saat peribadatan seperti di Kota Padang, pemerintah menyebutnya sebuah salah paham. Realitanya sudah jelas itu mengintimidasi peribadatan di rumah doa Kristen, pengrusakan fasilitas, melukai dua anak dan mengumbar kata kebencian saat ibadah berlangsung. Kejadian itu lebih dari intoleransi dan diyakini juga sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Merefleksikan rentetan kejahatan intoleransi itu, persatuan dan kesatuan bangsa pun terancam menjadi kenangan, jika negara tidak serius mencegah, menindak dan memberantas intoleransi. Negara tidak boleh kalah dan kita sebagai rakyat yang melanjutkan kemerdekaan Indonesia seharusnya ambil andil agar intoleransi tidak mendapat ruang di bangsa ini.
Peristiwa Intoleransi Berulang
Dalam tiga bulan ini, tindakan intoleransi terjadi berulang kali dengan beragam motifnya. Pada bulan Juli, terjadi penolakan pembangunan Gereja di Dusun Parit Mayor Darat Desa Kapur, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Sembilan Ketua RT menolak rencana pembangunan Gereja Katolik tersebut .Penolakan tersebut didasari karena kekhawatiran beberapa warga jika gereja dibangun di wilayah mereka, akan berpotensi konflik sosial. Tak lama kemudian, kejadian serupa juga terjadi di Desa Sumber Makmur, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kabupaten Kotawaringin Timu, Kalimantan Tengah. Terjadi penolakan pembangunan gereja dengan dalil surat resmi Kepala Desa Sumber Makmur yang menolak pembangunan rumah ibadah (gereja) di wilayah RW 003 Desa Sumber Makmur. Di Jawa Barat, kesekian kalinya aktivitas peribadatan mendapat persekusi dan intimidasi. Tentu sangat mencoreng hak konstitusional kebebasan beragama. Kembali terjadinya peristiwa perusakan rumah singgah dan pembubaran acara retret ibadah pelajar Kristen di Cidahu, Jawa Barat pada 27 Juni lalu. Dikabarkan massa membubarkan kegiatan retret pelajar Kristen dan mereka merusak fasilitas rumah seperti kaca, perabotan, dan menurunkan benda yang menyerupai kayu salib. Insiden serupa pun kembali terjadi.
Kali ini di Padang, Sumatra Barat, pada 27 Juli, terjadi perusakan rumah doa umat Kristen. Sekelompok masa mengintimidasi peribadatan di rumah doa umat Kristen, pengrusakan fasilitas, melukai dua anak dan mengumbar kata kebencian saat ibadah berlangsung. Berlanjut pula belum lama ini, Rumah Doa Imanuel di Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, dilakukan oleh pemerintah daerah sejak 2 Agustus 2025. Tempat ibadah umat Kristen ini telah disegel lebih dari sepekan. Menurut keterangan Pendeta Gereja Beth-El Tabernakel, Yahya Sukma, tindakan ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang nyata.
Tak kunjung berhenti di pulau Jawa, tindakan intoleran juga terjadi di provinsi tempat berdirinya Ibu Kota Negara Nusantara. Penolakan pendirian Gereja Toraja di Sungai Keledang, Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur juga menghadapi penolakan dari sejumlah pihak. Meskipun telah memiliki rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), pembangunan gereja masih terhambat karena penolakan warga dan kekhawatiran pemerintah setempat akan memicu konflik.
Belum lama ini, GKJW Mojoroto Kota Kediri. Pembangunan gerejanya dipaksa berhenti pemerintah kota. Alasannya tidak berizin, padahal mereka telah mengantongi dukungan 65 warga sekitar dan 200-an warga jemaat. Terlepas dari beberapa kejadian yang saya uraikan, sebenarnya masih banyak lagi yang terdengar bagi publik.
Begitu pedih melihat realitas intoleransi yang terjadi di Indonesia. Seakan para pelaku intoleran yang seharusnya tidak memiliki tempat di bangsa ini, seolah memiliki kekuatan besar dan terorganisir melebihi negara. Sepanjang tahun 2024, SETARA Institute mencatat adanya 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Jumlah ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 217 peristiwa dengan 329 tindakan pada 2023. 159 tindakan di antaranya dilakukan oleh aktor negara, sedangkan 243 tindakan dilakukan oleh aktor non negara.
Dimana kehadiran negara atas pelanggaran KBB yang menimpa rakyatnya ratusan kali itu? Alih-alih hadir menjamin keadilan dan menegakkan hak kewarganegaraan, nyatanya terdapat aktor negara yang menjadi pelaku. Menilik sumber terpercaya tersebut, dari total 159 tindakan oleh aktor negara, sebagian besar berasal dari institusi pemerintah daerah (50 tindakan), diikuti oleh kepolisian (30), Satpol PP (21), serta masing-masing 10 tindakan oleh TNI dan Kejaksaan, dan Forkopimda (6).
Dimana lagi ruang yang aman bagi kebebasan beragama dan jaminan beribadah sesuai ajaran agamanya ?. Ruang publik terbukti tidak melindungi hak-hak tersebut. Persekusi dan intimidasi mungkin akan semakin dinormalisasi bagi kaum minoritas. SETARA Institute mencatat pelanggaran KBB oleh aktor non-negara menunjukkan pola mengkhawatirkan. Pelanggaran terbanyak dilakukan oleh ormas keagamaan (49 tindakan), disusul kelompok warga (40), individu warga (28), Majelis Ulama Indonesia (21), ormas umum (11), individu (11), dan tokoh masyarakat (10).
Jika dibandingkan dengan tahun 2023, kontribusi pelanggaran oleh ormas keagamaan meningkat signifikan, menunjukkan kecenderungan menguatnya konservatisme dalam ruang keagamaan, yang kerap kali ditandai oleh penyempitan cara pandang terhadap keberagaman agama dan keyakinan.
Negara Menjamin Kemerdekaan Memeluk Agama
Tindakan intoleransi dan pelanggaran KBB selalu memanggil segenap anak bangsa untuk mengingat dan memahami makna Pasal 29 UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama. Bangsa yang merdeka ini, sejatinya final menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut ajaran agamanya. Seperti termaktub pada Pasal 29 UUD 1945 yakni membahas soal agama yang dijabarkan lebih rinci dalam dua ayat. Makna Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945 secara sederhana adalah negara menjamin hak kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh warga negara. Bunyi Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 adalah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian, bunyi Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 adalah negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Wajib dipahami dan diamalkan, bahwa hak memeluk agama ini telah diatur dalam dasar negara, Pancasila, tepatnya sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dirincikan pula dalam Pasal 28E UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Bunyi Pasal 28E UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1). Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2). Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3.) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Bunyi Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 adalah sebagai berikut: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Sehingga intoleransi terhadap kebebasan beragama dan beribadah tidak dapat dibenarkan dalam apapun di bangsa ini. Komitmen pemerintah pusat, pemerintah daerah dan penegak hukum wajib mewujudkan kebebasan tersebut. Pihak atau kelompok intoleran harus menjadi musuh negara dalam hal ini pemerintah dan aparat. Keadilan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Ratusan kali insiden persekusi dan intimidasi peribadatan kaum minoritas keagamaan, selalu dicap kesalah pahaman, mediasi, restorasi justice oleh pemerintah dan aparat. Bahkan ketika minoritas bersuara, dianggap memperkeruh keadaan.
Pemerintah dan aparat seolah mengutamakan kedamaian semu dibalik realita kejahatan intoleransi yang menimpa umat beragama minoritas. Meningkatnya pelanggaran KBB, intoleransi dan diskriminasi menunjukkan lemahnya komitmen negara dalam melindungi hak konstitusional warga negara. Kondisi ini membutuhkan langkah konkret Presiden Prabowo beserta DPR RI, mulai dari reformasi regulasi seperti revisi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, upaya literasi kerukunan bagi rakyat hingga penguatan kapasitas birokrasi dan aparat hukum dalam menangani kasus KBB dengan adil.
Berbagai upaya kenegaraan ini, tentu haruslah mengevaluasi apa yang telah terjadi dan melihat secara menyeluruh fakta yang terjadi di masyarakat. Perbaikan kedepan hendaknya memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam prosesnya, agar tidak terjebak pada kepentingan politik tertentu dan keinginan mayoritas saja. Kemerdekaan Indonesia ke-80 tahun ini, memberikan pekerjaan rumah yang besar bagi kebebasan beragama dan beribadah sesuai ajaran agama untuk seluruh rakyat Indonesia. Negara harus hadir dengan keadilan dan kado kemerdekaannya, jangan sampai yang hadir ialah penjajah baru yakni intoleransi. Jangan biarkan intoleransi yang merdeka.